Demo berdarah pecah di Bangladesh dalam beberapa hari terakhir. Pemberian kuota pegawai negeri (PNS) kepada keluarga veteran perang di tengah sulitnya pemuda mendapatkan pekerjaan oleh pemerintah Perdana Menteri (PM) Syeik Hasina membuat massa marah dan turun ke jalan.
Setidaknya dilaporkan 163 orang tewas. Dilaporkan bagaimana sejumlah fasilitas dibakar, baik gedung-gedung hingga jalan dan jembatan.
Sebenarnya saat ini kekerasan sudah mulai mereda. Senin, kelompok mahasiswa yang memimpin demonstrasi menghentikan protes selama 48 jam seraya mengatakan “tak menginginkan reformasi dengan mengorbankan begitu banyak darah”.
Namun, mereka masih akan melihat keadaan apakah protes bakal terus berlanjut Rabu (24/7/2024). Pastinya, koordinator protes mengatakan polisi dan sayap mahasiswa pro pemerintah, Liga Awami yang berkuasa, telah menggunakan kekuatan brutal terhadap pendemo damai sehingga memicu kemarahan yang meluas.
Tetangga RI Evakuasi
Sementara itu, sejumlah negara melakukan evakuasi warganya dari Bangladesh. Setelah India memulangkan 4.500 warganya, kali ini tetangga RI, Malaysia, melakukan hal yang sama.
Setidaknya 80 dari 139 warga telah dievakuasi dari negara Asia Selatan itu. Mereka sebagian besar adalah mahasiswa yang menuntut ilmu di negeri mayoritas Muslim tersebut.
“Mahasiswa yang memilih tetap mengatakan bahwa mereka sudah berada di tahun terakhir dan tidak ingin studinya terganggu. Mereka juga yakin situasi di Bangladesh akan membaik,” kata Menteri Dalam Negeri Malaysia Saifuddin Nasution Ismail.
“Mereka yang memilih untuk tetap tinggal sangat didesak untuk menjaga komunikasi rutin dengan Komisi Tinggi untuk menerima informasi terkini dan dukungan,” tambah Kementerian Luar Negeri Malaysia.
Seorang mahasiswa kedokteran asal Malaysia di Mymensingh Medical College, empat jam dari ibu kota Dhaka, Fatihah Fadli (25) mengatakan situasi di kampusnya memang mulai mengkhawatirkan. Jam malam berlaku, di mana mahasiswa diminta tinggal di rumah.
“Internet terputus dan kami tidak memiliki WiFi selama enam hari,” katanya.
“Saat itu, kami mendengar suara bentrokan. Kami merasa takut ketika mendengar orang-orang dipukuli, dan kami bahkan tidak bisa pergi ke pasar,” ujarnya.
Hal sama juga dikatakan Cassandra Devi, 26, seorang mahasiswa Malaysia di Dhaka Medical College. Ia mengatakan dia melihat pemandangan yang tidak menyenangkan dalam perjalanan dari asramanya.
“Kami memang melihat banyak hal yang tidak ingin kami lihat, seperti perwira militer dikerahkan di mana-mana, tank dan polisi bersenjata, dan sebagainya,” katanya.
2.500 Orang Ditangkap
Di sisi lain, pemerintah setidaknya menangkap 2.500 orang karena demonstrasi yang terjadi. Hampir 1.200 orang ditahan di Dhaka dan daerah pedesaan serta industri.
Sementara sebanyak 600 orang ditangkap di Chittagong dan daerah pedesaannya. Sebanyak ratusan lainnya ditahan di distrik-distrik di seluruh negeri.
“Anak-anak muda dibunuh secara acak setiap hari. Rumah sakit tidak mengungkapkan jumlah korban luka dan tewas,” kata peraih Hadiah Nobel Perdamaian Bangladesh Muhammad Yunus, yang juga kini menghadapi kriminalisasi dari pemerintah PM Hasina.
PBB juga mengatakan keprihatinan serius pada situasi Bangladesh. Di mana pemerintah disebut menggunakan militer berlebih untuk menenangkan massa.
Pejabat pemerintah sendiri telah berulang kali menyalahkan para pengunjuk rasa. Campur tangan oposisi juga dituding menjadi penyebab kerusuhan tersebut.
Mempertahankan Kekuasaan
Sebenarnya kebijakan kuota PNS sudah dibatalkan Mahkamah Agung (MA) Bangladesh Minggu. Namun jatah masih ada, dari 56% menjadi 7%.
Keputusan tersebut tidak memenuhi tuntutan pengunjuk rasa untuk menghapuskan total kategori keluarga “pejuang kemerdekaan” itu. Pasalnya itu diyakini hanya akal-akalan pemerintah Hasina untuk mempertahankan kekuasaannya yang kini memasuki empat periode.
Hasina (76) telah memerintah negara itu sejak 2009 dan memenangkan pemilu keempat berturut-turut pada bulan Januari lalu setelah pemungutan suara tanpa adanya oposisi yang tulus. Pemerintahannya juga dituduh oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia menyalahgunakan lembaga-lembaga negara untuk memperkuat kekuasaannya dan membasmi perbedaan pendapat.